Genetic Enginering

Senin, 17 Desember 2012


SISI POSITIF REKAYASA GENETIKA PADA HEWAN DAN HEWAN

A.      Latar Belakang
Teknologi Rekayasa Genetika merupakan inti dari bioteknologi yang didefinisikan sebagai teknik in-vitro asam nukleat, termasuk DNA rekombinan dan injeksi langsung DNA ke dalam sel atau organel; atau fusi sel di luar keluarga taksonomi; yang dapat menembus rintangan reproduksi dan rekombinasi alami, dan bukan teknik yang digunakan dalam pemuliaan dan seleksi tradisional. Prinsip dasar teknologi rekayasa genetika adalah memanipulasi atau melakukan perubahan susunan asam nukleat dari DNA (gen) atau menyelipkan gen baru ke dalam struktur DNA organisme penerima. Gen yang diselipkan dan organisme penerima dapat berasal dari organisme apa saja.
Bahan pangan hewani merupakan kebutuhan pokok manusia untuk hidup sehat, kreatif, produktif dan cerdas. Menurut Prof. I.K Han (1999) menyatakan adanya kaitan positif antara tingkat konsumsi protein hewani dengan umur harapan hidup (UHH) dan pendapatan perkapita. Delgado et. al (1999) menduga akan terjadi peningkatan produksi dan konsumsi pangan hewani dimasa depan. Di dalam artikel “Peternakan 2020: Revolusi Pangan Masa Depan”, mereka menduga bahwa konsumsi daging penduduk dunia akan meningkat dari 233 juta ton (tahun 2000) menjadi 300 juta ton (tahun 2020). Konsumsi susu naik dari 568 juta ton menjadi 700 juta, sedangkan konsumsi telur sekitar 55 juta ton. Hal tersebut disebabkan oleh bertambahnya jumlah penduduk dunia, meningkatnya kesejahteraan hidup dan meningkatnya kesadaran gizi masyarakat dunia.
Akan tetapi, peningkatan kebutuhan pangan hewani, ternyata tidak diikuti oleh ketersediaan pangan hewani secara murah, merata dan terjangkau. Teknologi budidaya peternakan konvensional dan pertumbuhan populasi ternak yang cenderung lambat merupakan salah satu faktor penyebabnya. Oleh karena itu, aplikasi bioteknologi diharapkan dapat memainkan peranan penting dalam memacu pertumbuhan populasi ternak dan meningkatkan mutu pangan hewani.
Menurut Sudrajat (2003) aplikasi bioteknologi peternakan dilakukan pada tiga bidang utama, yaitu bioteknologi reproduksi (inseminasi buatan, transfer embrio dan rekayasa genetik), bioteknologi pakan ternak dan bioteknologi bidang kesehatan hewan. Bioteknologi peternakan dapat digunakan mempercepat pembangunan peternakan melalui peningkatan daya reproduksi dan mutu genetik ternak, perbaikan kualitas pakan dan kualitas kesehatan ternak
B.       Pembahasan
Bioteknologi adalah penggunaan biokimia, mikrobiologi, dan rekayasa genetika secara terpadu, untuk menghasilkan barang atau lainnya bagi kepentingan manusia. Biokimia mempelajari struktur kimiawi organisme. Rekayasa genetika adalah aplikasi genetik dengan mentransplantasi gen dari satu organisme ke organisme lain.
Ciri utama bioteknologi:
1. Adanya Benda biologi berupa mikroorganisme, tumbuhan atau hewan
2. Adanya pendayagunaan secara teknologi dan industri
3. Produk yang dihasilkan adalah hasil ekstraksi dan pemurnian
Obyek rekayasa genetika mencakup hampir semua golongan organisme, mulai dari bakteri, fungi, hewan tingkat rendah, hewan tingkat tinggi, hingga tumbuh-tumbuhan. Bidang kedokteran dan farmasi paling banyak berinvestasi di bidang yang relatif baru ini. Sementara itu bidang lain, seperti ilmu pangan, kedokteran hewan, pertanian (termasuk peternakan dan perikanan), serta teknik lingkungan juga telah melibatkan ilmu ini untuk mengembangkan bidang masing-masing.
Teknologi Rekayasa Genetika merupakan inti dari bioteknologi didifinisikan sebagai teknik in-vitro asam nukleat, termasuk DNA rekombinan dan injeksi langsung DNA ke dalam sel atau organel; atau fusi sel di luar keluarga taksonomi; yang dapat menembus rintangan reproduksi dan rekombinasi alami, dan bukan teknik yang digunakan dalam pemuliaan dan seleksi tradisional.
Prinsip dasar teknologi rekayasa genetika adalah memanipulasi atau melakukan perubahan susunan asam nukleat dari DNA (gen) atau menyelipkan gen baru ke dalam struktur DNA organisme penerima. Gen yang diselipkan dan organisme penerima dapat berasal dari organisme apa saja.
Dampak produk rekayasa genetika bagi kesehatan manusia tidak perlu dikhawatirkan sepanjang jenis produk yang dilepas ke masyarakat telah memenuhi Protokol Cartagena dan terlebih dulu melalui proses pemeriksaan keamanan pangan dan lingkungan. Hal yang sering dikhawatirkan para ilmuwan bioteknologi adalah keikutan gen marker (biasanya gen tahan antibiotika) terselip ke dalam khromosom organisme penerima, sehingga jika makan produk tersebut kita juga akan memakan zat tahan antibiotika. Tentang hal ini telah ada teknologi untuk menghilangkan gen tersebut agar tidak ikut terselip ke organisme penerima. Di samping itu konsentrasi zat ini tidak tinggi untuk ukuran manusia. Kekhawatiran juga muncul terhadap adanya gene flow yaitu menyebarnya gen baru yang diselipkan pada organisme penerima kepada organisme lain yang sejenis di sekitarnya melalui proses penyerbukan atau kawin silang.
BIOTEKNOLOGI REPRODUKSI HEWAN
Bioteknologi reproduksi terus berkembang untuk meningkatkan konsistensi dan keamanan produk dari ternak yang berharga secara genetik dan menyelamatkan spesies langka. Bioteknologi reproduksi juga memudahkan antisipasi kemungkinan industri yang mengarah pada produk dengan sifat-sifat genetik bernilai ekonomis seperti pertumbuhan jaringan otot, produk rendah lemak, dan ketahanan terhadap penyakit.
1. Inseminasi Buatan dan Seksing Sperma
Program peningkatan produksi dan kualitas pada ternak berjalan lambat bila 13 proses reproduksi berjalan secara alamiah. Melalui rekayasa bioteknologi reproduksi, proses reproduksi dapat dimaksimalkan antara lain dengan teknologi IB (inseminasi buatan). Tujuan utama dari teknik IB ialah memaksimalkan potensi pejantan berkualitas unggul. Sperma dari satu pejantan berkualitas unggul dapat digunakan untuk beberapa ratus bahkan ribuan betina, meskipun sperma tersebut harus dikirim ke suatu tempat yang jauh.
Jenis kelamin anak pada ternak yang diprogram IB dapat ditentukan dengan memanfaatkan teknologi seksing sperma X dan sperma Y. Dewasa ini ada dua teknik yang umum dipakai untuk seksing sperma yaitu separasi albumin yang menghasilkan 75 sampai 80 persen sperma Y dan filtrasi sephadex yang menghasilkan 70 hingga 75 persen sperma X. Perubahan proporsi sperma X atau Y akan menyebabkan peluang untuk memperoleh anak dengan jenis kelamin yang diharapkan lebih besar. Seleksi gender pada hewan digunakan untuk beberapa tujuan diantaranya:
1. memproduksi lebih banyak anak betina dari induk superior untuk meningkatkan
produksi susu, daging dan kulit.
2. menghasilkan lebih banyak anak jantan untuk produksi daging dari betina-betina yang
telah diculling.
3. mencegah intersex pada kelahiran kembar (khususnya ternak sapi).
2. Transfer Embrio
TE (transfer embrio) merupakan teknologi yang memungkinkan induk betina unggul memproduksi anak dalam jumlah banyak tanpa harus bunting dan melahirkan. TE dapat mengoptimalkan bukan hanya potensi dari jantan saja tetapi potensi betina berkualitas unggul juga dapat dimanfaatkan secara optimal. Pada proses reproduksi alamiah, kemampuan betina untuk bunting hanya sekali dalam 1 tahun (9 bulan bunting ditambah persiapan untuk bunting berikutnya) dan hanya mampu menghasilkan 1 atau 2 anak bila terjadi kembar. Menggunakan teknologi TE, betina unggul tidak perlu bunting tetapi hanya berfungsi menghasilkan embrio yang untuk selanjutnya bisa ditransfer (dititipkan) pada induk titipan (resipien) dengan kualitas genetik rata-rata etapi mempunyai kemampuan untuk bunting.
3. Bayi Tabung
Kematian bukan lagi merupakan berakhirnya proses untuk melahirkan keturunan. Melalui teknik bayi tabung, sel telur yang berada di dalam ovarium betina berkualitas unggul sesaat setelah mati dapat diproses in vitro di luar tubuh sampai tahap embrional. Selanjutnya embrio tersebut ditransfer pada resipien sampai dihasilkan anak.
Secara alamiah sapi betina berkualitas unggul dapat menghasilkan sekitar tujuh ekor anak selama hidupnya. Jumlah tersebut dapat berkurang atau menjadi nol bila ada gangguan fungsi reproduksi atau kematian karena penyakit. Untuk menyelamatkan keturunan dari betina berkualitas unggul tersebut, embrio dapat diproduksi dengan cara aspirasi sel telur pada hewan tersebut selama masih hidup atau sesaat setelah mati. Dari ovarium yang diperoleh di rumah potong hewan bisa diperoleh sekitar 20 sampai 30 sel telur untuk setiap ternak betina yang dipotong. Sel telur hasil aspirasi tersebut selanjutnya dimatangkan secara in vitro. Sel telur yang sudah matang diproses lebih lanjut untuk dilakukan proses fertilisasi secara in vitro dengan melakukan inkubasi selama lima jam mempergunakan semen beku dari pejantan berkualitas unggul. Sel telur yang dibuahi dikultur kembali untuk perkembangan lebih lanjut. Pada akhirnya embrio yang diperoleh akan dipanen dan dipndahkan rahim induk betina dan dibiarkan tumbuh sampai lahir.

4. Kriopreservasi Embrio
Kriopreservasi merupakan komponen bioteknologi yang memiliki peranan yang sangat besar dan menentukan kemajuan teknologi transfer embrio. Hal ini dikaitkan dengan kemampuannya dalam mempertahankan viabilitas embrio beku dalam waktu yang tidak terbatas sehingga sewaktu-waktu dapat ditransfer ketika betina resipien telah tersedia, serta dapat didistribusi ke berbagai tempat secara luas. Dengan kata lain, Kriopreservasi merupakan suatu proses penghentian sementara kegiatan metabolism sel tanpa mematikan sel dimana proses hidup dapat berlanjut setelah kriopreservasi dihentikan. Metode kriopreservasi dapat dilakukan dengan dua cara yakni kriopreservasi secara bertahap dan kriopreservasi secara cepat (vitrifikasi).
 Secara umum, mekanisme kriopreservasi merupakan perubahan bentuk fisik timbal balik dari fase cair ke padat dan kembali lagi ke fase cair. Mekanisme fisika kriopreservasi meliputi penurunan temperatur pada tekanan normal disertai dengan dehidrasi sampai tingkat tertentu dan mencapai temperatur jauh di bawah 0oC (-196 oC). Proses ini harus reversibel ke kondisi fisiologis awal. Tujuan kriopreservasi adalah mempertahankan sesempurna mungkin sifat-sifat material biologis terutama viabilitasnya.

5. Hewan Transgenik
Hewan transgenik merupakan satu alat riset biologi yang potensial dan sangat menarik karena menjadi model yang unik untuk mengungkap fenomena biologi yang spesifik (Pinkert, 1994).  Sedangkan hewan transgenik menurut Federation of European Laboratory Animal Associations adalah hewan dimana dengan sengaja telah dimodifikasi genome-nya, gen disusun dari suatu organisme yang dapat mewarisi karakteristik tertentu. Dua alasan umum mengapa hewan transgenic tetap diproduksi :
-          Beberapa hewan transgenic diproduksi untuk mempunyai sifat ekonomis spesifik. Contoh, ternak transgenic diciptakan untuk memproduksi susu yang mengandung protein khusus manusia, dimana mungkin dapat membantu dalam perawatan penyakit emphysema pada manusia (penyakit pembengkakan paru-paru karena pembuluh darah).
-          Hewan transgenic lainnya diproduksi sebagai model penyakit (secara genetic hewan dimanipulasi untuk menunjukkan gejala penyakit sehingga perawatan efektif dapat dipelajari). Contoh, ilmuwan Harvard membuat terobosan besar secar ilmiah ketika mereka diterima sebuah paten U.S. untuk keahlian tikus secara genetic, dimana tikus membawa gen yang mengembangkan variasi kanker manusia.
Kemampuan untuk mengintroduksi gen-gen fungsional ke dalam hewan menjadi alat berharga untuk memecah proses dan sistem biologi yang kompleks. Transgenik mengatasi kekurangan praktek pembiakan satwa secara klasik yang membutuhkan waktu lama untuk modifikasi genetik. Aplikasi hewan transgenik melingkupi berbagai disiplin ilmu dan area riset diantaranya:
1. basis genetik penyakit hewan dan manusia, disain dan pengetesan terapinya;
2. resistensi penyakit pada hewan dan manusia;
3. terapi gen
Hewan transgenik merupakan model untuk pertumbuhan, immunologis, neurologis, reproduksi dan kelainan darah);
4. obat-obatan dan pengetesan produk;
5. pengembangan produk baru melalui “molecular farming”
Introduksi gen ke dalam hewan atau mikroorganisme dapat merubah sifat dari hewan atau organisme tersebut agar dapat menghasilkan produk tertentu yang diperlukan oleh manusia seperti factor IX dan hemoglobin manusia.
6. produksi peternakan
a)      Ternak
Pemanfaatan teknologi transgenik memungkinkan diperolehnya ternak dengan karakteristik unggul (Pinkert, 1994; Prather et al, 2003). Petani selalu menggunakan peternakannya yang selektif untuk menghasilkan hewan yang sesuai dengan keinginan. Misalnya meningkatkan produksi susu, meningkatkan kecepatan pertumbuhan. Peternakan tradisional memakan waktu dan sulit memenuhi permintaan. Ketika teknologi menggunakan biologi molekuler untuk mengembangkan karakteristik hewan dengan waktu yang singkat dan tepat. Disamping itu, transenik hewan menyediakan cara yang mudah untuk meningkatkan hasil.
b)      Kualitas produksi
Sapi transgenic bisa memproduksi susu yang banyak dan rendah laktosa dan kolesterol, babi dan unggas menghasilkan daging yang lebih banyak, dan domba yang memiliki wool yang tebal. Di masa lampau, petani menggunakan hormone pertumbuhan untuk memacu perkembangan hewan tetapi teknik ini bermasalah, khususnya sejak residu hormone masih terkandung dalm produk.



c)      Resistensi penyakit
Ilmuwan mencoba menghasilkan hewan yang resisten terhadap penyakit, seperti babi yang resisten terhadap influenza, tetapi jumlah gen yang berperan masih terbatas jumlahnya.
7. Aplikasi Kesehatan
a)      Pasien yang meninggal tiap tahun karena butuh pengganti jantung, hati, atau ginjal. Contoh, sekitar 5000 organ dibutuhkan tiap tahun di UK. Babi transgenic menyediakan transpalantasi organ yang dibutuhkan untuk meredakan. Xenotransplantation adalah wadah yang diproduksi oleh protein babi yang dapat menyebabkan alergi pada penerima donor, tetapi bisa dihindarkan dengan mengganti protein babi dengan protein manusia.
b)      Suplement nutrisi dan Obat-obatan
Produk seperti insulin, hormone pertumbuhan, factor anti penggumpalan darah mungkin terkandung dalam susu sapi, kambing, dan domba transgenic. Penelitian merupakan cara untuk menghasilkan susu melalui transgenesis untuk penyembuhan penyakit seperti phenylketonuria (PKU), penyakit pembengkakan paru-paru yang menurun, dan penyakit kista.
Contoh : Pada tahun 1997, sapi transgenic pertama kali, memproduksi yang kaya akan protein 2,4 gr per liter. Susu sapi transgenic ini lebih bernutrisi daripada susu sapi biasa. Susu ini dapat diberikan pada bayi atau dan orang dewasa dengan gizi yang dibutuhkan dan mudah dicerna. Karena mengandung gen alpha-lactalbumin.
c)      Terapi Gen Manusia
Terapi gen manusia meliputi penambahan copyan gen normal pada genome orang yang memiliki gen yang tidak normal. Perlakuan tersebut berpotensi pada 5000 penyakit genetic yang besar dan hewan transgenic. Contoh, salah satu institute di finladia memproduksi gen anak sapi mampu memacu pertumbuhan sel darah merah di manusia (Margawati,2009).




8. Aplikasi industri

Pada tahun 2001, 2ilmuwan di Canada menyambung gen laba-laba ke dalam sel penghasil susu kambing. Kambing mulai menghasilkan strand seperti serabut sutra saat pemerahan susu. Dengan mengekstrak polimer strand dari susu dan menenunnya menjadi benang, kemudian ilmuwan membuatnya menjadi mengkilat, keras, dan fleksibel dan diaplikasikan pada pembuatan kain, kasa steril, dan string raket tenis.
Hewan transgenic yang sensitive terhadap racun telah diproduksi untuk uji keamanan kimia. Mikroorganisme telah dirancang untuk meproduksi varietas protein yang dapat memproduksi enzim untuk mempercepat reaksi kimia pada industri.
9. Kualitas produk transgenic
Di masa yang akan datang hewan transgenik akan diproduksi dengan penyisipan gen pada lokasi yang spesifik dalam genom. Teknik ini telah terbukti berhasil pada mencit tetapi masih Iintensif diteliti pada hewan-hewan besar.
Tabel Contoh–contoh Locyt-Locyt Gen dan Aplikasi pada Ternak
Spesies
Gen
Aplikasi
Babi
α -1,3-galactosyl trasferase
Mencegah rejeksi hiperakut dalam
xenotransplantasi

Babi, sapi
Fas, Fas-L
Menekan rejeksi yang dimediasi
sel pada xenotransplantasi

Sapi
Menekan rejeksi yang dimediasi
sel pada xenotransplantasi

Produksi serum labumin manusia
dalam susu

Sapi
Milk casein
Meningkatkan produksi protein
dan formula bayi

Semua
SRY dan penentu sex lainnya
Produksi daging dan susu yang
lebih efisien

Semua
Growth/differentitian factor 8
Produksi daging yang lebih efisien




10. Kloning
Kloning adalah upaya multiplikasi hewan secara asexual yang menghasilkan turunan-turunan dengan komposisi genetik yang identik. Klon sapi dan kuda pertama kali diproduksi pembelahan embrio tahap blastosis umur 8-10 hari (jumlah sel embrio ± 64 sel). Dengan memakai teknik bedah mikro untuk memproduksi turunan-turunan bergenetik identik, para peneliti menemukan bahwa setiap sel embrio dapat tumbuh menjadi satu embrio utuh dengan jumlah sel ± 128 sel. Hal ini memungkinkan penggunaan inti sel embrio untuk memproduksi lusinan klon sapi dari satu embrio yang tumbuh.
Kemajuan teknologi ini berlangsung cepat, tetapi prosedur kerja membutuhkan teknik yang rumit dan efisiensi masih rendah. Untuk saat ini, kloning belum terbukti mampu menghasilkan ternak dalam jumlah besar secara ekonomis. Terobosan penting metode cloning hewan ditandai lahirnya “Dolly”, domba hasil kloning para peneliti Roslin Institute (Skotlandia). Sel-sel diperoleh dari kelenjar ambing domba betina dewasa dan dikultur di laboratorium. Sel hasil kultur tersebut selajutnya digunakan sumber inti berisi material genetik yang menggantikan inti sel telur domba setelah percobaan diulang 273 kali, diperoleh seekor domba hasil kloning (Wilmut et al, 1997). Produksi ”Dolly” sangat signifikan karena: pertama, merupakan mamalia pertama yang diproduksi menggunakan material genetik yang berasal dari sel hewan dewasa. Kedua, memungkinkan pengembangan metode baru dan lebih efisien untuk memproduksi hewan transgenik yang mengandung gen sintetik manusia di dalamnya (Niswender, 2004). Menyusul keberhasilan Dolly, kloning berhasil dibuat pada berbagai hewan lain seperti sapi dan kuda. Penelitian tentang kloning ini berlanjut terus dan menjadi perhatian dari banyak peneliti di berbagai negara khususnya Amerika Serikat,Perancis, Inggris, Skotlandia, dan Jepang.
Pengembangan kloning yang sangat menarik adalah pembuatan hewan transgenik. Embrio hasil kloning disisipi gen-gen tertentu (umumnya gen manusia) sehingga ternak kloning yang lahir memiliki sifat genetik baru yang bermanfaat. Hewan kloning transgenik pertama kali dihasilkan adalah ”Moly” dan ”Poly” yang juga diproduksi di Roslin Institute. Para peneliti berharap hewan kloning transgenik akan menghasilkan substansi kimia tertentu dalam jumlah besar (umumnya lewat air susu) untuk keperluan biomedis dan farmasi (Stice et al., 1998).
Para peneliti saat ini telah membuat banyak kemajuan dalam metode kloning, dan diprediksi adanya kemungkinan produksi ratusan hingga ribuan individu yang identik secara genetik menggunakan teknologi ini (Han et al, 2003; Wells et al, 2003). Produksi ternak transgenik hasil kloning secara komersial sudah dirintis di beberapa negara (Faber et al, 2003)
 11. Kloning Terapeutik Dengan Teknik SCNT pada Domba Dolly
            Teknologi SCNT meliputi suatu teknologi rekayasa terhadap sel telur, dengan cara mentransfer inti dari sel donor ke sel telur yang telah dikeluarkan intinya (enucleated oocyte). Kedua jenis kloning memiliki kegunaannya masing-masing. Kloning reproduktif berperan penting dalam pelestarian hewan-hewan langka yang hampir punah. Sedangkan, kloning terapeutik bertujuan untuk menghindari adanya reaksi penolakan terhadap sistem imun pasien dalam terapi sel punca (stem cell) . Keberhasilan suatu penelitian yang menghasilkan sel punca embrionik monyet dengan teknik SCNT. Akhir-akhir ini membawa dunia semakin dekat dengan produksi sel punca embrionik manusia dari sel somatik dewasa sehingga risiko penolakan terhadap sistem imun akan semakin berkurang..
Domba  dolly yang berhasil diklon oleh Ian Wilmut pada tahun 1996. Domba Dolly merupakan salah satu contoh dari kloning reproduktif. Sebenarnya terdapat dua jenis kloning, yaitu kloning reproduktif dan kloning terapeutik. Kedua jenis kloning ini merupakan penerapan dari aplikasi teknologi Somatic Cell Nuclear Transfer atau SCNT.
12. TEKNIK SCNT
            Perbedaan fertilisasi dengan SCNT:

            Pada fertilisasi alami, setelah mengalami pembelahan meiosis, sel telur dan sel sperma memiliki materi genetik haploid (n). Terjadinya pembuahan sel telur oleh sel sperma atau fertilisasi akan menghasilkan embrio satu sel yang memiliki materi genetik 2n. Kemudian, embrio ini akan terus berkembang ke tahapan perkembangan selanjutnya
menjadi 2 sel, 4 sel, 8 sel, 16 sel, dan seterusnya.
Teknik SCNT merupakan suatu teknik rekayasa sel telur dengan cara mentransfer
inti dari sel donor ke dalam sel telur yang telah dikeluarkan intinya (enucleated oocyte). Enucleated oocyte tidak memiliki materi genetik. Oleh karena itu, untuk mendapatkan embrio konstruksi yang diploid, sel telur harus direkonstruksi dengan cara mentransfer sel somatik (2n) ke dalam enucleated oocyte1. Proses enukleasi sel telur dapat dilakukan secara mekanik menggunakan teknik mikromanipulasi. Sedangkan, proses introduksi sel donor dapat dilakukan dengan teknik mikroinjeksi. Keberadaan cytochalasin B (CB) pada medium kultur bertujuan untuk menghambat sitokinesis atau pembelahan sel sehingga dapat dihasilkan klon embrio diploid2.
Aplikasi dari teknologi SCNT adalah pada penelitian kloning reproduktif dan juga kloning terapeutik. Pada perkembangan secara normal (A), zigot diploid terbentuk setelah terjadi fertilisasi. Kemudian, zigot akan membelah sampai terbentuk blastosit yang akan menempel pada  dinding uterus sampai akhirnya berakhir pada proses melahirkan. Pada kloning reproduktif (B), sel donor yang berupa sel somatik (2n) diintroduksikan ke enucleated oocyte. Keberhasilan proses aktivasi embrio konstruksi secara kimiawi atau mekanik mengakibatkan terjadinya proses pembelahan sampai ke tahap blastosit. Kemudian, embrio ”dititipkan” ke surrogate mother untuk dilahirkan secara normal. Sedangkan, pada kloning terapeutik (C), setelah embrio mencapai tahapan blastosit, embrio dikultur secara in vitro untuk didiferensiasikan menjadi berbagai jenis sel untuk kegunaan terapeutik.
Kloning reproduktif adalah  suatu teknologi yang digunakan untuk menghasilkan individu (hewan) baru. Genetika hewan klon tidak seluruhnya memiliki kesamaan dengan sang induk1. Dengan menggunakan teknik SCNT, persamaan genetika hewan klon dengan induknya hanya terletak pada inti DNA donor yang berada di kromosom. Hewan klon juga memiliki material genetik lainnya yang berasal dari DNA mitokondria di sitoplasma1. Teknologi kloning reproduktif dapat digunakan untuk mencegah terjadinya kepunahan hewan-hewan langka ataupun hewan-hewan sulit dikembangbiakkan. Namun,
laju keberhasilan teknologi ini sangatlah rendah.
Parameter yang dijadikan sebagai tolak ukur keberhasilan dalam SCNT adalah kemampuan sitoplasma pada sel telur untuk mereprogram inti dari sel donor dan juga kemampuan sitoplasma untuk mencegah terjadinya perubahan-perubahan secara epigenetik selama dalam perkembangannya12. Dari semua penelitian yang telah dipublikasikan, tercatat hanya sebagian kecil saja dari embrio hasil rekonstruksi (menggunakan sel somatik dewasa atau fetal) yang berkembang menjadi individu muda yang sehat, dan umumnya laju keberhasilannyakurang dari 4%
SCNT merupakan bagian dari terapi sel punca yang bertujuan untuk menghindari Adanya reaksi penolakan terhadap system imun pasien pada saat dilakukan terapi. Dalam beberapa dekade terakhir, minat terhadap penelitian sel punca terus meningkat tajam. Sel punca memiliki potensi yang sangat menjanjikan untuk terapi berbagai penyakit sehingga menimbulkan harapan baru untuk mengobatinya. Sampai saat ini, ada 3 golongan penyakit yang dapat diatasi dengan penggunaan sel punca  di antaranya adalah:
1. Penyakit autoimun,contoh penyakit lupus.
2. Penyakit d e g e n e r a tif, contoh stroke, Parkinson, Alzhimer.
3. Penyakit kanker, contoh leukemia.
Sel punca embrionik sangat plastis dan mudah dikembangkan menjadi berbagai macam jaringan sel, seperti neuron, kardiomiosit, osteoblast, fibroblast, dan sebagainya. Oleh karena itu, sel punca embrionik dapat digunakan untuk transplantasi jaringan yang rusak14. Selain itu, sel punca embrionik memiliki tingkat imunogenisitas yang rendah selama belum mengalami diferensiasi .
Salah satu cara untuk menghindari terjadinya graft versus host disease (GVHD) adalah dengan menggunakan sel punca embrionik dengan sel somatik yang bersumberdari pasien itu sendiri sehingga tidak akan ada penolakan lagi terhadap sistem imunnya. Dengan menggunakan teknologi SCNT, sel punca embrionik yang dihasilkan akan identik dengan induknya (dalam hal ini adalah pasien itu sendiri).
Hal itu mengakibatkan tidak akan adanya reaksi penolakan terhadap system imun pasien apabila dilakukan transplantasi. Secara teoritis,teknik SCNT memiliki potensi besar dalam dunia kesehatan karena dapat dipergunakan untuk transplantasi berbagai organ dan jaringan pada manusia. Secara singkat tahapan untuk melakukan kloning terapeutik pada manusia  adalah mengambil biopsy sel somatik dari tubuh pasien dan inti dari sel somatic tersebut ditransfer ke dalam sel telur donor yang telah dikeluarkan intinya (unfertilized enucleated oocyte). Sel telur hasil manipulasi dikultur sampai ke tahapan tertentu dan setelah mengalami berbagai proses akan didapatkan sel punca embrionik. Sel punca embrionik ini diarahkan perkembangannya menjadi suatu jaringan atau organ tertentu yang akan dapat digunakan untuk transplantasi jaringan atau organ dan tidak akan mengalami rejeksi sistem imun pada pasien itu sendiri (immunologically compatible transplant).

13. Kultur Sel Hewan
Kultur sel hewan adalah sisitem menumbuhkan sel manusia maupun hewan untuk tujuan memproduksi metabolit tertentu. Pada saat sekarang aplikasi dari system ini banyak digunakan untuk menghasilkan untuk menghasilkan produk-produk farmasi dan kit diagnostik dengan kebanyakan jenis produk berupa molekul protein kompleks. Hal yang paling mendorong kearah aplikasi ini adalah karena biaya operasionalnya yang tinggi, terutama medium. Selain itu system metabolisme sel hewan tidak “seramai” pada system metabolisme sel tanaman. Sekalipun demikian ada aplikasi yang berhubungan tidak langsung dengan masalah pangan, misalnya: penetapan jenis kelamin dari embrio yang akan ditanam, penentuan masa ovulasi dari sapid an fertilisasi in vitro untuk hewan. Aadapun contoh-contoh produk yang biasa dihasilkan oleh sel hewan misalnya: interferon, tissue plasminogen activator, erythroprotein, hepatitis B surface antigen.
Daftar Pustaka
Anonymous, 2009. Bioteknologi Hewan. http://www.crayonpedia.org/Penerapan_Bioteknologi.
Anonymous, 2009. Rekayasa Genetika. http://id.wikipedia.org/wiki/Rekayasa-Genetika
Anonymous, 2009. Aplikasi Bioteknologi dalam Pemuliaan Ternak. Oleh:  Dr. Rusfidra, S.Pt.2007 dalam http://rusfidra.multiply.com/Aplikasi_Bioteknologi_dalam_Pemuliaan_Ternak
Margawati, Endang Tri. 2009. Transgenic Animals: Their Benefits To Human Welfare. http://www.actionbioscience.org/biotech/margawati.html#learnmore


OLEH: KENANGA SARI 24020110130053
SUMBER :



   
VARIASI GENETIK ABALON TROPIS HALIOTIS ASININA L
ASAL SULAWESI SELATAN; PROSPEK BUDIDAYA
GENETIC DIVERSITY OF TROPICAL ABALONE HALIOTIS ASININA L . IN SOUTH SULAWESI INDONESIA; AQUACULURE PERSPECTIVE

ABSTRACT
Abalone is one of important marine gastropods commodity. Highly demand of these resources has result a depletion of wild stock elsewhere. One of the priorities to optimize the productivity of abalone is the development of a selective method of the parent. Initial efforts are underway to determine the proper method of crossing the parent is to determine the genetic diversity within a population of abalone both in natural (wild type). RAPD-PCR (Polymerase Chain Reaction Random Amplified Polymorphic-DNA) is one of the molecular techniques of using a specific marker for studying genetic diversity. This technique involves specific annealing where the target DNA is random. This study aims to determine the genetic diversity of the parent population of abalone H. asinina L. origin from Bone Bay South Sulawesi Province with the use of RAPD genetic markers. DNA samples derived from the toe of abalone. DNA is extracted and then amplified in the PCR machine using the 5 primer namely UBC 197, OPB 11, UBC 195, UBC 271 and UBC 101, and the results were observed after electrophoresis on agarose gel. Analysis of genetic diversity in this study is based on the results of Jaccard genetic similarity coefficients. Kinship dendogram constructed using the NTSYS program. The result shows the genetic diversity of H.asinina L origin from Bone Bay is high. Compared to the parent abalone genetic diversity in different aquatic locations in Indonesia, the diversity of observed abalone is quite high enough to potentially be used as a parent for crosses. Abalone aquaculture perspective is discussed in this paper.
Key words: abalone breeder, RAPD-PCR, primers, genetic diversity

Pendahuluan
Abalon H. asinina L. merupakan kelompok moluska laut atau dikenal dengan kerang mata tujuh, dalam klasisfikasi masuk kelas gastropoda. Terdapat lebih dari 100 species abalone (Geiger, 2005), 20 jenis diantaranya bersifat ekonomis (Andy Omar, et al. 2000). Abalon merupakan komoditas yang patut untuk dibudidayakan karena nilai protein yang tinggi dan kandungan kolestrol yang rendah. Kandungan nutrisi yang sangat baik untuk kesehatan membuat nilai ekonomis abalon meningkat. Nilai ekonomis abalon yang tinggi memberi pengaruh besar bagi yang mengkonsumsinya. Di luar negeri abalon bisa menjadi makanan eksotik yang harganya mahal (Bonang, 2008). Data SEAFDEC tahun 2007 menunjukkan bahwa pasar tidak dapat memenuhi 7.000 ton permintaan dunia akan abalon. Permintaan abalon yang tinggi menyebabkan terjadi ekploitasi berlebhan di alam. Ekspolitasi tersebut terutama yang dilakukan dengan cara tidak ramah lingkungan dapat menyebabkan putusnya siklus hidup generasi dalam jumlah yang besar dan selanjutnya memicu terjadinya degradasi populasi. Untuk menjaga kelestarian sumber daya abalon diperlukan upaya-upaya secara dini untuk menemukan suatu bentuk pengelolaan secara teknis, biologis dan ekologis yang dapat dipertanggung jawabkan.
Salah satu langkah yang menjadi solusi bagi eksploitasi secara langsung di alam adalah dengan melakukan budidaya. Budidaya abalon di Indonesia mulai diteliti di Loka Budidaya Laut Lombok sejak tahun 1997 (Sofyan et al., 2006). Budidaya abalon menbutuhkan benih yang bagus agar dapat menghasilkan abalon yang baik. Pemilihan benih dapat dikakukan dengan cara melihat keragaman genetik untuk memperoleh individu yang unggul. Keragaman genetik dipandang sebagai sumber gen. Sumber gen yang beragam memungkinkan untuk mencari gen unggul melalui proses seleksi sehingga dapat ditemukan suatu individu yang memiliki berbagai keunggulan baik dari segi pertumbuhan, tahan terhadap penyakit maupun kemampuan beradaptasi yang tinggi (Sugama et al., 1996).
Data variasi dan keragaman genetik abalon belum banyak tersedia dalam menunjang proses seleksi induk. Pengamatan keragaman genetik perlu dilakukan sebagai sumber informasi tambahan mengenai variasi dan keragaman genetik abalon H. asinina L. Salah satu metode yang digunakan untuk mengetahui keragaman genetik adalah metode RAPD. Penggunaan penanda RAPD relatif sederhana. Teknik RAPD memberikan hasil yang lebih cepat dibandingkan dengan teknik molekuler lainnya. Teknik ini juga mampu menghasilkan jumlah karakter yang relatif tidak terbatas, sehingga sangat membantu untuk keperluan analisis keanekaragaman organisme yang tidak diketahui latar belakang genomnya (Suryanto, 2001).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman genetik H. asinina L. asal Sulawesi Selatan menggunakan metode Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD).untuk memberikan informasi mengenai keanekaragaman genetik abalon tropis H. asinina L. yang bisa dikembangkan untuk budidaya dan mendapatkan spesies yang potensial untuk dibudidayakan.

Materi dan Metode
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2011 sampai dengan November 2011, bertempat di Laboratorium Bioteknologi Kesehatan Pusat Kegiatan Penelitian dan Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar. Pengambilan sampel abalon dilakukan pada perairan Teluk Bone Sulawesi Selatan.
Alat-alat yang digunakan meliputi PCR, Elektroforesis, Spektrofotometer, UV transilluminator, Lemari Pendingin, Mortar, Gunting, Pisau, Pinset, Plastik sampel, Vortex, Water Bath, Neraca analitik, Tabung eppendorf, Mikropipet, Laminary Air Flow.
Bahan-bahan yang digunakan meliputi kekerangan abalon H. asinina L., Primer OPB1 (5’-GTAGACCCGT-3’);UBC101 (GCGCCTGGAG-3’); UBC195 (5’-GATCTCAGCG-3’); UBC197 (5’-TCCCCGTTCC-3’) dan UBC271 (5’- GCCATCAAGA-3’), Purifikasi DNA Genomik Kit, Enzim Taq DNA polimerase 500u, dNTP Mix, marker λDNA 100bp DNA, 0,1-10uI mikrotip, 0,2 ml tabung PCR 1000/pc, Buffer; MgCl2 3.5 mM, Alkahol, phenol/chloroform, ethidium bromide, EDTA , larutan proteinase K, RNAse, larutan protein presipitasi, isopropanol, etanol 70%.
Sampel abalon yang ditemukan diidentifikasi berdasarkan karakter morfologi cangkang (bentuk, ukuran dan corak), disesuaikan dengan petunjuk identifikasi (Poutiers, 1998). Diversitas genetika mengacu pada prosedur baku.
Prosedur tahapan ekstraksi sebagai berikut (Kalibunga et.al., 2004): Otot kaki abalon dipotong, ditimbang 10-20 mg dan dimasukkan ke dalam plastik sampel, kemudian digerus dengan pastel/mortar dalam kondisi dingin dan dimasukkan dalam tabung eppendorf 1,5 cc yang bersih dan telah diberi label berdasarkan nomor sampel. Kemudian ditambahkan 500μl larutan pelisis sel (Nuclei Lisis Solution) dan 100μl 0,5 EDTA pH 8, dicampur dengan vortex, dinkubasi 650C selama 15-30 menit. Larutan yang sudah dicampur ditambahkan 17,5 μl proteinase K (20 mg/ml), dicampur dengan vortex dan diinkubasi semalam pada suhu 550C. Ditambahkan 3μl RNAse, dicampur dengan membolak-balikkan tabung, diinkubasi pada suhu 370C selama 15-30 menit kemudian dibiarkan selama 5 menit pada suhu ruang. Ditambahkan 200μl protein presipitation dan divortex pada kecepatan tinggi selama 20 detik, kemudian didinginkan selama 5 menit dan disentrifus selama 5 menit pada kecepatan 12.000 rpm. Supernatan dipindahkan ke tabung ependorf baru yang telah diisi dengan isopropanol (600 μl), dicampur dengan membolak-balikkan tabung dan disentrifus selama 2 menit pada 12.000 rpm Supernatan dibuang dengan hati-hati Ditambahkan 600μl etanol 70%, dicampur dengan membolak-balikkan tabung, disentrifus selama 2 menit pada kecepatan 12.000 rpm. Supernatan dibuang dengan pipet kemudian dikeringkan (diangin-anginkan selama 10-15 menit). Ditambahkan 100μl DNA dehydration, diinkubasi pada suhu 650C selama 1 jam atau pada suhu 40C selama satu malam.
Proses penggandaan DNA dengan mengguanakan PCR(Polymerase Chain Reaction) dengan prosedur sebagai berikut (Kalibunga, et.al 2004): Untuk komposisi 25 μl pada reaksi PCR terdiri dari sampel DNA genom 50 ng; 1 × PCR buffer; MgCl2 3.5 mM; dNTP mix 0.4 mM; Primer 0.4 μM dan taq DNA polymerase 2.0 unit. Penggandaan DNA genom ini menggunakan GeneAmp PCR system 2400 (Perkin Elmer) yang akan dilakukan sebanyak 35 siklus dengan tahapan 15 detik denaturasi pada suhu 94°C, 60 detik penempelan primer (annealing) pada suhu 36°C, 90 detik sintesis DNA (Primer extension) pada suhu 72°C dan 7 menit pemanjangan DNA (final extension) pada suhu 72°C. Produk DNA yang telah digandakan dianalisis melalui proses elektrophoresis dengan menggunakan gel agarosa, kemudian divisualisasi dengan menggunakan UV transilluminator setelah pewarnaan dengan ethidium bromide.

Analisis Data
Tiap fragmen DNA yang dianalisis menggunakan metode RAPD dengan menggunakan GeneRuler 100bp DNA ladder (Fermetas). Fragmen tersebut akan dinilai polymorphic apabila tidak ditemukan pada beberapa sampel. Perbedaan pola band pada setiap primer dianggap sebagai perbedaan genotip. Data yang diperoleh dianalisis mengguanakan RAPDistance Package Software Version 1.04 (Amstrong et.al., 1994) dan Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis System (NTSYS) Version 1.80 (Rohlf, 1994). Analisis Similarity Indeks (SI) antar individu dan antar sampel dilakukan berdasarkan formula Nei dan Li (1979). Jarak genetik antar beberapa sampel yang berpasangan kemudian akan dihitung (Lynch, 1990) dan hubungan kekrabatan ini akan digambarkan dengan dendogram berdasarkan metode Unweighted Pair-Group Method of Aritmetic (UPGMA) employing Secuential, Agglomerative, Hierarchial and Nested Clustering (SAHN) dari NTSYS-pc program (Rohlf, 1994).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keanekaragaman Morfologi Abalon H. asinina L.
Keragaman morfologi meliputi kergaman bentuk, corak warna dan lain-lain. Menurut Poutiers (1998) dalam junal Gastropods in: FAO Species Identification Guide for Fishery Purposes: The living marine resources of the Western Central Pacific Volume 1. Seaweeds, corals, bivalves and gastropods dalam kunci determinasi abalon menyebutkan cangkang H. asinina L. berwarna hijau atau coklat dengan bentuk corak segi tiga yang memiliki warna hijau pucat dan coklat. Referensi tersebut menjadi patokan dalam melihat keanekaragaman morfologi abalon Penelitian mengenai keragaman abalon tropis H. asinina L pada penelitian ini dengan metode RAPD menggunakan 5 primer. Primer tersebut penah digunakan oleh penelitia sebelumnya untuk abalon tropis H. asinia L. yang berasal dari perairan di Thailand (Klibunga et.al. 2004). Adapun contoh hasil amplifikasi primer UBC 197, OPB 11, UBC 195, UBC 271 dan UBC 101 terlihat pada Gambar 1.
 

 








Gambar 1. Profil pita DNA dengan primer UBC 197 Urutan M (Marker), Sampel (B1, B2, B3, B4, B5) dan N (Kontrol Negatif)
Gambar hasil amplifikasi dari lima primer menunjukkan pita DNA yang teramplifikasi secara acak. Hasil visualisasi dari metode RAPD dikelompokkan dengan analisis klaster. Menurut Supranto (2004), analisis klaster adalah suatu teknik yang digunakan untuk mengklasifikasikan obyek ke dalam kelompok yang cenderung mirip satu sama lain dan berbeda jauh dengan obyek dari kelompok lain.
Amplifikasi dari primer yang digunakan menghasilkan 108 larik dengan 4 primer yang bisa mengamplifikasi DNA. Amplifikasi DNA terjadi secara acak menghasikan pita yang terletak antar 200 bp sampai diatas 1000 bp.  Primer UBC 197, OPB 11, UBC 271 dan UBC 101 berhasil teramplifikasi dan menghasilkan pita yang terletak antara 200 bp sampai lebih 1000 bp. Keberhasilan amplifikasi DNA genom dalam teknik RAPD ditentukan oleh salah satunya adalah urutan basa primer yang digunakan dalam setiap reaksi dan kuantitasnya (kandungan primer dalam setiap reaksi). Prinsip teknik RAPD didasarkan pada kemampuan primer menempel cetakan DNA. Primer yang didesain berupa primer tunggal pendek agar dapat menempel secara acak pada DNA genom organisme. DNA yang tidak menempel pada primer akan menyebabkan tidak munculnya pita DNA yang disebabkan tidak terjadinya penempelan pada primer. Pada primer UBC 195 tidak terdlihat adanya pita yang disebabkan tidak menempelnya primer pada DNA setiap sampel abalon. Hal ini menyebabkan tidak terjadinya proses amplifikasi pada primer ketiga UBC 195. Perbedaan pola pita yang ditunjukkan tiap sampel menunjukkan keanekaragaman sampel abalon yang diteliti. Semakin besar perbedaan maka kekerabatan abalon semakin jauh. Sebaliknya semakin mirip pola pita yang ditunjukkan maka kekrabatan antar sampel abalon semakin dekat.
Jarak genetik antara individu abalon H. asinina L. tersaji dalam tabel jarak genetik. Jarak genetik merupakan tingkat perbedaan gen (perbedaan genom) diantara suatu populasi atau spesies (Nei, I987).Jarak genetik digunakan untuk menunjukkan seberapa dekat kekerabatan antar genetik abalone H. asinina L. tersebut dilihat dari nilainya. Banyaknya kesamaan dalam nilai yang ditunjukkan oleh nilai jarak genetik menunjukkan keanekaragaman abalon H. asinina L. yang tinggi.
Keanekaragaman genetika dapat terjadi karena adanya perubahan nukleotida penyusun DNA. Perubahan ini mungkin dapat memperngaruhi fenotipe suatu organisme yang dapat dipantau dengan mata telanjang, atau mempengaruhi reaksi individu terhadap lingkungan tertentu. Secara umum keanekaragaman genetik dari suatu populasi dapat terjadi karena adanya mutasi, rekombinasi, atau migrasi gen dari satu tempat ke tempat lain (Suryanto, 2003)
Menurut Singh (1995) bahwa hubungan isolat individu atau keseluruhan populasi dapat dinyatakan dalam angka-angka, analisis ini juga dapat ditampilkan dalam dendogram. Dengan menggunakan metode Unweighted Pair- Gouping Method with Aritmatic Averaging (UPGMA), dihasilkan dendogram jarak genetik (Gambar 2). Dendogram menunjukan hubungan kekerabatan antara sampel abalon yang diteliti. Hubungan kekerabatan tersebut membentuk 2 kelompok besar. Kelompok pertama terdiri dari BI, B2, B3, B4, B5, B13, B18, B33 dan B42. Kelompok kedua terdiri dari B17, B19 dan B20. Pada dasarnya bila mengacu pada dendoram dari dua kelompok besar kekerabatan abalon asal Kabupaten Bone memiliki kekerabatan yang luas atau tinggi. Jarak genetik yang terletak antara 0,1176-1,0000 menunjukkan nilai keanekaragaman genetik yang tidak terlampau jauh antara satu individu dengan individu yang lain. Informasi yang didapat dari gambar dendogram menujukkan korelasi antar induvidu yang beranekaragam dari sampel abalon yang ada di perairan teluk Bone. Nilai jarak genetik akan menunjukan hubungan kekerabatan antar individu tiap sampel abalon.




Gambar 2 Dendogram hubungan genetik sampel abalon (Primer UBC 197, OPB 11, UBC 195, UBC 271 dan UBC 101)
Jarak genetik yang terlihat pada dendogram memberi petunjuk terhadap hubungan kekerabatan yang berbanding lurus. Semakin besar jarak genetik antara indivu semakin jauh hubungan kekerabatan antar idividu. Hal tesebut ditunjukan oleh sampel abalon B1 dan B20 yang memiliki kekerabatan yang jauh. Sampel B1 dan B20 berada pada pada kisaran jarak genetik 0,1176. Semakin kecil jarak genetik maka menunjukkan hubungan kekerabatan yang semakin dekat atau memiiliki kesamaaan yang identik. B19 dan B20 merupakan dua individu yang memliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan nilai jarak genetik 1,0000.
Hubungan kekerabatan sampel abalon disebabkan adanya perkawinan silang antara individu yang ada di wilayah perairan tersebut. Perkawinan silang tersebut akan menghasilkan keturunan yang beranekaragam bahkan ada yang identik ketika dua individu yang melakukan persilangan memiliki gen yang sama. Sampel abalon yang memiliki kedekatan genetik, diduga beasal dari tetua yang berkerabat dekat, sebaliknya sampel abalon yang jarak genetiknya relative tinggi, diduga berasal dari tetua yang jauh hubungan kekerabatannya dengan tetua varietas yang lain. Keanekaragaman pada abalon disebabkan adanya persilangan heterozigot pada induk abalon.
Penelitian ini memberikan informasi yang penting untuk menggali informasi tentang abalon yang ada di perairan teluk Bone khususnya dan abalon yang ada disektar perairan Indonesia pada umumnya yang memberikan informasi yang berkaitan dengan bidang biologi molekuler. Penelitian dalam bidang biologi molekler yang terkait dengan kanekaragaman genetik yang dilakukan dengan metode RAPD (Random amplified polymorphic DNA) dapat memberikan manfaat dalam hal upaya pemuliaan dan keragaman genetik yang dibutuhkan untuk keperluan riset mupun pemenuhan kebutuhan manusia.
Pemahaman tentang keragaman genetik dan hubungan kekerabatan diperlukan baik untuk kegiatan konservasi genetik maupun pemuliaan. Untuk konservasi ex-situ, informasi ini sangat diperlukan untuk menetukan jumlah populasi maupun individu dalam populasi yang perlu dikoleksi, sehingga dapat tetap mempertahankan dasar keragaman genetik yang dimiliki, sedangkan untuk konservasi in-situ, informasi ini diperlukan untuk menentukan jumlah lokasi yang harus ditentukan beserta luasan serta jumlah individu di dalamnya.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Koefisien .jarak genetik 12 sampel abalon H. asinina L. asal perairan teluk Bone Sulawesi Selatan berkisar antara 0,1176-1,0000. Jarak genetik terjauh ditunjukkan oleh sampel B1 dan B20 dengan nilai jarak genetik 0,1176 sedangkan jarak genetik terdekat ditunjukkan oleh sampel B19 dan B20 dengan nilai jarak genetik 1,0000.
2. Analisis dendogram sampel abalon H. asinina L. menghasilkan dua kelompok besar. Kelompok pertama terdiri dari BI, B2, B3, B4, B5, B13, B18, B33 dan B42. Kelompok kedua terdiri dari B17, B19 dan B20.

Saran
Diharapkan penelitian mengenai keragaman genetik abalon dapat dilanjutkan dengan membandingkan abalon yang berasal dari perairan lain kawasan lain di Indonesia.
.
DAFTAR PUSTAKA
Amstrong, J.S., A.J.,Gibbs, R.,Peackall, G.,Weiller, 1994. The Rapdistance Package. Australian National University, Canberra, Australia. pp. 101-103.
Geiger, D.L, 2005. Molecular Phylogeni and The Geograpic Orogin of Haliotidae Traced by Haemocyanin Sequences, Journal of Molluscan Studies Advance. Santa Barbara Museum of Natural History. pp. 1-6.
Kalinbunga, S., P.,Apparyup, R.,Leelatanawit, A.,Tassanakajon, I., Hirono, T.,Aoki, A.,Jayarabhand, P.,Menasveta, 2004. Species Identification Of The Tropical Abalione Haliotis Asinina, Haliotis Ovina And Haliotis Varia In Thailand Using Rapd And Scar Markers. Journal Biochemistry And Molecular Biology 37: 213-222.
Li, X., 1998. Genetics in Abalone. In: Proceedings of the 5th Annual Abalone Aquaculture Workshop, (Ed). Hone, P. Fisheries Research and Development Corporation. Hobart, Tasmania. pp 132-140.
Lynch, M; 1990. The Similarity Index And Dna Fingerprinting. Mol. Biol. Evol. 7, 478-484.
Nei, M. 1987. Molecular Evolutionary Genetics. Columbia University Press. New York.
Nei, M., Li, W. H; 1979. Mathematical Model For Studying Genetic Variation In Terms Of Restriction Ndonucleases. Proc. Nat. Acad. Sci. Usa 76, 5269-5273.
Poutiers J. M. 1998. Gastropods in:FAO Species Identification Guide for Fishery Purposes: The living marine resources of the Western Central Pacific Volume 1. Seaweeds, corals, bivalves and gastropods. Rome, FAO, 1998. page 385.
Rohlf, F.J., 1994. Ntsys-Pc Numerical Taxonomy And Multivariate Analysis System. Exeter Software, New York.
Singh RP, 1995. Molecular Methods in Plant Pathology. CRC Lewis Publisher. Florida.
Sofyan, A., Shaw, J.R., Birge,W.J., 2006. Metal trophic transfer from algae to a cladocerans and the relative importance of dietary metal exposure. Environ. Toxicol. Chem. 25, 1034–1041.
Sugama, K. Haryati dan F.Ghalih. 1996. Biochemical Genetic of Tiger Shrimp, Peaus monodon. Description of Electrophoretic Detectable Loci. IFR. Journal, 34 (1): 19-28.
Suryanto, D. 2003. Melihat Keanekaragaman Organisme Melalui Beberapa Teknik Genetika Molekuler. Program Studi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, Sumatera Utara Digitized Library. pp 2.
Williams, J.G.K, A.R. Kubelik, K.J. Livak, J.A. Rafalski, S.V. Tingey. 1990. DNA polymorphisms amplified by arbitrary primers are useful as genetic markers. Nucleic Acids Res. 18: 6531-6535.
Oleh : Kenanga Sari
Sumber :
Magdalena Litaay, Rosana Agus, St Ferawati, Rusmidin
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Hasnuddin Makassar 9024
Makalah disampaikan pada ICAI 2012, Semarang 23-24 November 2012