VARIASI GENETIK
ABALON TROPIS HALIOTIS ASININA L
ASAL SULAWESI
SELATAN; PROSPEK BUDIDAYA
GENETIC
DIVERSITY OF TROPICAL ABALONE HALIOTIS ASININA L . IN SOUTH
SULAWESI INDONESIA; AQUACULURE PERSPECTIVE
ABSTRACT
Abalone is one
of important marine gastropods commodity. Highly demand of these resources has
result a depletion of wild stock elsewhere. One of the priorities to optimize
the productivity of abalone is the development of a selective method of the
parent. Initial efforts are underway to determine the proper method of crossing
the parent is to determine the genetic diversity within a population of abalone
both in natural (wild type). RAPD-PCR (Polymerase Chain Reaction Random
Amplified Polymorphic-DNA) is one of the molecular techniques of using a specific
marker for studying genetic diversity. This technique involves specific
annealing where the target DNA is random. This study aims to determine the
genetic diversity of the parent population of abalone H. asinina L. origin
from Bone Bay South Sulawesi Province with the use of RAPD genetic markers. DNA
samples derived from the toe of abalone. DNA is extracted and then amplified in
the PCR machine using the 5 primer namely UBC 197, OPB 11, UBC 195, UBC 271 and
UBC 101, and the results were observed after electrophoresis on agarose gel.
Analysis of genetic diversity in this study is based on the results of Jaccard
genetic similarity coefficients. Kinship dendogram constructed using the NTSYS
program. The result shows the genetic diversity of H.asinina L origin
from Bone Bay is high. Compared to the parent abalone genetic diversity in
different aquatic locations in Indonesia, the diversity of observed abalone is
quite high enough to potentially be used as a parent for crosses. Abalone
aquaculture perspective is discussed in this paper.
Key words:
abalone breeder, RAPD-PCR, primers, genetic diversity
Pendahuluan
Abalon H.
asinina L. merupakan kelompok moluska laut atau dikenal dengan kerang mata
tujuh, dalam klasisfikasi masuk kelas gastropoda. Terdapat lebih dari 100
species abalone (Geiger, 2005), 20 jenis diantaranya bersifat ekonomis (Andy
Omar, et al. 2000). Abalon merupakan komoditas yang patut untuk
dibudidayakan karena nilai protein yang tinggi dan kandungan kolestrol yang
rendah. Kandungan nutrisi yang sangat baik untuk kesehatan membuat nilai
ekonomis abalon meningkat. Nilai ekonomis abalon yang tinggi memberi pengaruh
besar bagi yang mengkonsumsinya. Di luar negeri abalon bisa menjadi makanan
eksotik yang harganya mahal (Bonang, 2008). Data SEAFDEC tahun 2007 menunjukkan
bahwa pasar tidak dapat memenuhi 7.000 ton permintaan dunia akan abalon.
Permintaan abalon yang tinggi menyebabkan terjadi ekploitasi berlebhan di alam.
Ekspolitasi tersebut terutama yang dilakukan dengan cara tidak ramah lingkungan
dapat menyebabkan putusnya siklus hidup generasi dalam jumlah yang besar dan
selanjutnya memicu terjadinya degradasi populasi. Untuk menjaga kelestarian
sumber daya abalon diperlukan upaya-upaya secara dini untuk menemukan suatu
bentuk pengelolaan secara teknis, biologis dan ekologis yang dapat
dipertanggung jawabkan.
Salah satu
langkah yang menjadi solusi bagi eksploitasi secara langsung di alam adalah
dengan melakukan budidaya. Budidaya abalon di Indonesia mulai diteliti di Loka
Budidaya Laut Lombok sejak tahun 1997 (Sofyan et al., 2006). Budidaya
abalon menbutuhkan benih yang bagus agar dapat menghasilkan abalon yang baik.
Pemilihan benih dapat dikakukan dengan cara melihat keragaman genetik untuk
memperoleh individu yang unggul. Keragaman genetik dipandang sebagai sumber
gen. Sumber gen yang beragam memungkinkan untuk mencari gen unggul melalui
proses seleksi sehingga dapat ditemukan suatu individu yang memiliki berbagai keunggulan
baik dari segi pertumbuhan, tahan terhadap penyakit maupun kemampuan
beradaptasi yang tinggi (Sugama et al., 1996).
Data variasi dan
keragaman genetik abalon belum banyak tersedia dalam menunjang proses seleksi
induk. Pengamatan keragaman genetik perlu dilakukan sebagai sumber informasi
tambahan mengenai variasi dan keragaman genetik abalon H. asinina L.
Salah satu metode yang digunakan untuk mengetahui keragaman genetik adalah
metode RAPD. Penggunaan penanda RAPD relatif sederhana. Teknik RAPD memberikan
hasil yang lebih cepat dibandingkan dengan teknik molekuler lainnya. Teknik ini
juga mampu menghasilkan jumlah karakter yang relatif tidak terbatas, sehingga
sangat membantu untuk keperluan analisis keanekaragaman organisme yang tidak
diketahui latar belakang genomnya (Suryanto, 2001).
Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui keragaman genetik H. asinina L. asal Sulawesi
Selatan menggunakan metode Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD).untuk
memberikan informasi mengenai keanekaragaman genetik abalon tropis H.
asinina L. yang bisa dikembangkan untuk budidaya dan mendapatkan spesies
yang potensial untuk dibudidayakan.
Materi dan
Metode
Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan September 2011 sampai dengan November 2011, bertempat
di Laboratorium Bioteknologi Kesehatan Pusat Kegiatan Penelitian dan Laboratorium
Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar. Pengambilan
sampel abalon dilakukan pada perairan Teluk Bone Sulawesi Selatan.
Alat-alat yang
digunakan meliputi PCR, Elektroforesis, Spektrofotometer, UV transilluminator,
Lemari Pendingin, Mortar, Gunting, Pisau, Pinset, Plastik sampel, Vortex, Water
Bath, Neraca analitik, Tabung eppendorf, Mikropipet, Laminary Air Flow.
Bahan-bahan yang
digunakan meliputi kekerangan abalon H. asinina L., Primer OPB1
(5’-GTAGACCCGT-3’);UBC101 (GCGCCTGGAG-3’); UBC195 (5’-GATCTCAGCG-3’); UBC197
(5’-TCCCCGTTCC-3’) dan UBC271 (5’- GCCATCAAGA-3’), Purifikasi DNA Genomik Kit,
Enzim Taq DNA polimerase 500u, dNTP Mix, marker λDNA 100bp DNA, 0,1-10uI
mikrotip, 0,2 ml tabung PCR 1000/pc, Buffer; MgCl2 3.5 mM, Alkahol,
phenol/chloroform, ethidium bromide, EDTA , larutan proteinase K, RNAse,
larutan protein presipitasi, isopropanol, etanol 70%.
Sampel abalon
yang ditemukan diidentifikasi berdasarkan karakter morfologi cangkang (bentuk,
ukuran dan corak), disesuaikan dengan petunjuk identifikasi (Poutiers, 1998).
Diversitas genetika mengacu pada prosedur baku.
Prosedur tahapan
ekstraksi sebagai berikut (Kalibunga et.al., 2004): Otot kaki abalon
dipotong, ditimbang 10-20 mg dan dimasukkan ke dalam plastik sampel, kemudian
digerus dengan pastel/mortar dalam kondisi dingin dan dimasukkan dalam tabung
eppendorf 1,5 cc yang bersih dan telah diberi label berdasarkan nomor sampel.
Kemudian ditambahkan 500μl larutan pelisis sel (Nuclei Lisis Solution) dan
100μl 0,5 EDTA pH 8, dicampur dengan vortex, dinkubasi 650C selama 15-30 menit.
Larutan yang sudah dicampur ditambahkan 17,5 μl proteinase K (20 mg/ml),
dicampur dengan vortex dan diinkubasi semalam pada suhu 550C. Ditambahkan 3μl
RNAse, dicampur dengan membolak-balikkan tabung, diinkubasi pada suhu 370C
selama 15-30 menit kemudian dibiarkan selama 5 menit pada suhu ruang.
Ditambahkan 200μl protein presipitation dan divortex pada kecepatan tinggi
selama 20 detik, kemudian didinginkan selama 5 menit dan disentrifus selama 5
menit pada kecepatan 12.000 rpm. Supernatan dipindahkan ke tabung ependorf baru
yang telah diisi dengan isopropanol (600 μl), dicampur dengan membolak-balikkan
tabung dan disentrifus selama 2 menit pada 12.000 rpm Supernatan dibuang dengan
hati-hati Ditambahkan 600μl etanol 70%, dicampur dengan membolak-balikkan
tabung, disentrifus selama 2 menit pada kecepatan 12.000 rpm. Supernatan
dibuang dengan pipet kemudian dikeringkan (diangin-anginkan selama 10-15
menit). Ditambahkan 100μl DNA dehydration, diinkubasi pada suhu 650C selama 1
jam atau pada suhu 40C selama satu malam.
Proses
penggandaan DNA dengan mengguanakan PCR(Polymerase Chain Reaction)
dengan prosedur sebagai berikut (Kalibunga, et.al 2004): Untuk komposisi
25 μl pada reaksi PCR terdiri dari sampel DNA genom 50 ng; 1 × PCR buffer;
MgCl2 3.5 mM; dNTP mix 0.4 mM; Primer 0.4 μM dan taq DNA polymerase 2.0 unit.
Penggandaan DNA genom ini menggunakan GeneAmp PCR system 2400 (Perkin Elmer)
yang akan dilakukan sebanyak 35 siklus dengan tahapan 15 detik denaturasi pada
suhu 94°C, 60 detik penempelan primer (annealing) pada suhu 36°C, 90
detik sintesis DNA (Primer extension) pada suhu 72°C dan 7 menit
pemanjangan DNA (final extension) pada suhu 72°C. Produk DNA yang telah
digandakan dianalisis melalui proses elektrophoresis dengan menggunakan gel
agarosa, kemudian divisualisasi dengan menggunakan UV transilluminator setelah
pewarnaan dengan ethidium bromide.
Analisis Data
Tiap fragmen DNA
yang dianalisis menggunakan metode RAPD dengan menggunakan GeneRuler 100bp DNA
ladder (Fermetas). Fragmen tersebut akan dinilai polymorphic apabila tidak
ditemukan pada beberapa sampel. Perbedaan pola band pada setiap primer dianggap
sebagai perbedaan genotip. Data yang diperoleh dianalisis mengguanakan RAPDistance
Package Software Version 1.04 (Amstrong et.al., 1994) dan Numerical
Taxonomy and Multivariate Analysis System (NTSYS) Version 1.80 (Rohlf,
1994). Analisis Similarity Indeks (SI) antar individu dan antar sampel
dilakukan berdasarkan formula Nei dan Li (1979). Jarak genetik antar beberapa
sampel yang berpasangan kemudian akan dihitung (Lynch, 1990) dan hubungan
kekrabatan ini akan digambarkan dengan dendogram berdasarkan metode Unweighted
Pair-Group Method of Aritmetic (UPGMA) employing Secuential, Agglomerative,
Hierarchial and Nested Clustering (SAHN) dari NTSYS-pc program (Rohlf,
1994).
HASIL DAN
PEMBAHASAN
Keanekaragaman
Morfologi Abalon H. asinina L.
Keragaman
morfologi meliputi kergaman bentuk, corak warna dan lain-lain. Menurut Poutiers
(1998) dalam junal Gastropods in: FAO Species Identification Guide for
Fishery Purposes: The living marine resources of the Western Central Pacific
Volume 1. Seaweeds, corals, bivalves and gastropods dalam kunci determinasi
abalon menyebutkan cangkang H. asinina L. berwarna hijau atau coklat
dengan bentuk corak segi tiga yang memiliki warna hijau pucat dan coklat.
Referensi tersebut menjadi patokan dalam melihat keanekaragaman morfologi
abalon Penelitian mengenai keragaman abalon tropis H. asinina L pada
penelitian ini dengan metode RAPD menggunakan 5 primer. Primer tersebut penah
digunakan oleh penelitia sebelumnya untuk abalon tropis H. asinia L.
yang berasal dari perairan di Thailand (Klibunga et.al. 2004). Adapun
contoh hasil amplifikasi primer UBC 197, OPB 11, UBC 195, UBC 271 dan UBC 101
terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Profil
pita DNA dengan primer UBC 197 Urutan M (Marker), Sampel (B1, B2, B3, B4, B5)
dan N (Kontrol Negatif)
Gambar hasil
amplifikasi dari lima primer menunjukkan pita DNA yang teramplifikasi secara
acak. Hasil visualisasi dari metode RAPD dikelompokkan dengan analisis klaster.
Menurut Supranto (2004), analisis klaster adalah suatu teknik yang digunakan
untuk mengklasifikasikan obyek ke dalam kelompok yang cenderung mirip satu sama
lain dan berbeda jauh dengan obyek dari kelompok lain.
Amplifikasi dari
primer yang digunakan menghasilkan 108 larik dengan 4 primer yang bisa
mengamplifikasi DNA. Amplifikasi DNA terjadi secara acak menghasikan pita yang
terletak antar 200 bp sampai diatas 1000 bp. Primer UBC 197, OPB 11, UBC 271 dan UBC 101
berhasil teramplifikasi dan menghasilkan pita yang terletak antara 200 bp
sampai lebih 1000 bp. Keberhasilan amplifikasi DNA genom dalam teknik RAPD
ditentukan oleh salah satunya adalah urutan basa primer yang digunakan dalam
setiap reaksi dan kuantitasnya (kandungan primer dalam setiap reaksi). Prinsip
teknik RAPD didasarkan pada kemampuan primer menempel cetakan DNA. Primer yang
didesain berupa primer tunggal pendek agar dapat menempel secara acak pada DNA
genom organisme. DNA yang tidak menempel pada primer akan menyebabkan tidak
munculnya pita DNA yang disebabkan tidak terjadinya penempelan pada primer.
Pada primer UBC 195 tidak terdlihat adanya pita yang disebabkan tidak
menempelnya primer pada DNA setiap sampel abalon. Hal ini menyebabkan tidak
terjadinya proses amplifikasi pada primer ketiga UBC 195. Perbedaan pola pita
yang ditunjukkan tiap sampel menunjukkan keanekaragaman sampel abalon yang
diteliti. Semakin besar perbedaan maka kekerabatan abalon semakin jauh.
Sebaliknya semakin mirip pola pita yang ditunjukkan maka kekrabatan antar
sampel abalon semakin dekat.
Jarak genetik
antara individu abalon H. asinina L. tersaji dalam tabel jarak genetik.
Jarak genetik merupakan tingkat perbedaan gen (perbedaan genom) diantara suatu
populasi atau spesies (Nei, I987).Jarak genetik digunakan untuk menunjukkan seberapa
dekat kekerabatan antar genetik abalone H. asinina L. tersebut dilihat
dari nilainya. Banyaknya kesamaan dalam nilai yang ditunjukkan oleh nilai jarak
genetik menunjukkan keanekaragaman abalon H. asinina L. yang tinggi.
Keanekaragaman
genetika dapat terjadi karena adanya perubahan nukleotida penyusun DNA.
Perubahan ini mungkin dapat memperngaruhi fenotipe suatu organisme yang dapat
dipantau dengan mata telanjang, atau mempengaruhi reaksi individu terhadap
lingkungan tertentu. Secara umum keanekaragaman genetik dari suatu populasi
dapat terjadi karena adanya mutasi, rekombinasi, atau migrasi gen dari satu
tempat ke tempat lain (Suryanto, 2003)
Menurut Singh
(1995) bahwa hubungan isolat individu atau keseluruhan populasi dapat
dinyatakan dalam angka-angka, analisis ini juga dapat ditampilkan dalam
dendogram. Dengan menggunakan metode Unweighted Pair- Gouping Method with
Aritmatic Averaging (UPGMA), dihasilkan dendogram jarak genetik (Gambar 2).
Dendogram menunjukan hubungan kekerabatan antara sampel abalon yang diteliti.
Hubungan kekerabatan tersebut membentuk 2 kelompok besar. Kelompok pertama
terdiri dari BI, B2, B3, B4, B5, B13, B18, B33 dan B42. Kelompok kedua terdiri
dari B17, B19 dan B20. Pada dasarnya bila mengacu pada dendoram dari dua
kelompok besar kekerabatan abalon asal Kabupaten Bone memiliki kekerabatan yang
luas atau tinggi. Jarak genetik yang terletak antara 0,1176-1,0000 menunjukkan
nilai keanekaragaman genetik yang tidak terlampau jauh antara satu individu
dengan individu yang lain. Informasi yang didapat dari gambar dendogram
menujukkan korelasi antar induvidu yang beranekaragam dari sampel abalon yang
ada di perairan teluk Bone. Nilai jarak genetik akan menunjukan hubungan kekerabatan
antar individu tiap sampel abalon.
Gambar 2
Dendogram hubungan genetik sampel abalon (Primer UBC 197, OPB 11, UBC 195, UBC
271 dan UBC 101)
Jarak genetik
yang terlihat pada dendogram memberi petunjuk terhadap hubungan kekerabatan
yang berbanding lurus. Semakin besar jarak genetik antara indivu semakin jauh
hubungan kekerabatan antar idividu. Hal tesebut ditunjukan oleh sampel abalon
B1 dan B20 yang memiliki kekerabatan yang jauh. Sampel B1 dan B20 berada pada
pada kisaran jarak genetik 0,1176. Semakin kecil jarak genetik maka menunjukkan
hubungan kekerabatan yang semakin dekat atau memiiliki kesamaaan yang identik.
B19 dan B20 merupakan dua individu yang memliki hubungan kekerabatan yang dekat
dengan nilai jarak genetik 1,0000.
Hubungan
kekerabatan sampel abalon disebabkan adanya perkawinan silang antara individu
yang ada di wilayah perairan tersebut. Perkawinan silang tersebut akan
menghasilkan keturunan yang beranekaragam bahkan ada yang identik ketika dua
individu yang melakukan persilangan memiliki gen yang sama. Sampel abalon yang memiliki
kedekatan genetik, diduga beasal dari tetua yang berkerabat dekat, sebaliknya
sampel abalon yang jarak genetiknya relative tinggi, diduga berasal dari tetua
yang jauh hubungan kekerabatannya dengan tetua varietas yang lain.
Keanekaragaman pada abalon disebabkan adanya persilangan heterozigot pada induk
abalon.
Penelitian ini
memberikan informasi yang penting untuk menggali informasi tentang abalon yang
ada di perairan teluk Bone khususnya dan abalon yang ada disektar perairan
Indonesia pada umumnya yang memberikan informasi yang berkaitan dengan bidang
biologi molekuler. Penelitian dalam bidang biologi molekler yang terkait dengan
kanekaragaman genetik yang dilakukan dengan metode RAPD (Random amplified
polymorphic DNA) dapat memberikan manfaat dalam hal upaya pemuliaan dan
keragaman genetik yang dibutuhkan untuk keperluan riset mupun pemenuhan
kebutuhan manusia.
Pemahaman
tentang keragaman genetik dan hubungan kekerabatan diperlukan baik untuk
kegiatan konservasi genetik maupun pemuliaan. Untuk konservasi ex-situ,
informasi ini sangat diperlukan untuk menetukan jumlah populasi maupun individu
dalam populasi yang perlu dikoleksi, sehingga dapat tetap mempertahankan dasar
keragaman genetik yang dimiliki, sedangkan untuk konservasi in-situ,
informasi ini diperlukan untuk menentukan jumlah lokasi yang harus ditentukan
beserta luasan serta jumlah individu di dalamnya.
KESIMPULAN DAN
SARAN
Kesimpulan
1. Koefisien .jarak genetik 12 sampel abalon H. asinina L.
asal perairan teluk Bone Sulawesi Selatan berkisar antara 0,1176-1,0000. Jarak
genetik terjauh ditunjukkan oleh sampel B1 dan B20 dengan nilai jarak genetik
0,1176 sedangkan jarak genetik terdekat ditunjukkan oleh sampel B19 dan B20
dengan nilai jarak genetik 1,0000.
2. Analisis dendogram sampel abalon H. asinina L.
menghasilkan dua kelompok besar. Kelompok pertama terdiri dari BI, B2, B3, B4,
B5, B13, B18, B33 dan B42. Kelompok kedua terdiri dari B17, B19 dan B20.
Saran
Diharapkan
penelitian mengenai keragaman genetik abalon dapat dilanjutkan dengan
membandingkan abalon yang berasal dari perairan lain kawasan lain di Indonesia.
.
DAFTAR PUSTAKA
Amstrong, J.S., A.J.,Gibbs, R.,Peackall, G.,Weiller, 1994. The
Rapdistance Package. Australian National University, Canberra, Australia.
pp. 101-103.
Geiger, D.L, 2005. Molecular Phylogeni and The Geograpic
Orogin of Haliotidae Traced by Haemocyanin Sequences, Journal of Molluscan
Studies Advance. Santa Barbara Museum of Natural History. pp. 1-6.
Kalinbunga, S., P.,Apparyup, R.,Leelatanawit,
A.,Tassanakajon, I., Hirono, T.,Aoki, A.,Jayarabhand, P.,Menasveta, 2004. Species
Identification Of The Tropical Abalione Haliotis Asinina, Haliotis Ovina And
Haliotis Varia In Thailand Using Rapd And Scar Markers. Journal
Biochemistry And Molecular Biology 37: 213-222.
Li, X., 1998. Genetics in Abalone. In: Proceedings
of the 5th Annual Abalone Aquaculture Workshop, (Ed). Hone, P. Fisheries
Research and Development Corporation. Hobart, Tasmania. pp 132-140.
Lynch, M; 1990. The Similarity Index And Dna
Fingerprinting. Mol. Biol. Evol. 7, 478-484.
Nei, M. 1987. Molecular
Evolutionary Genetics. Columbia University Press. New York.
Nei, M., Li, W. H; 1979. Mathematical Model For Studying
Genetic Variation In Terms Of Restriction Ndonucleases. Proc. Nat. Acad.
Sci. Usa 76, 5269-5273.
Poutiers
J. M. 1998. Gastropods in:FAO Species Identification Guide for Fishery
Purposes: The living marine resources of the Western Central Pacific Volume 1.
Seaweeds, corals, bivalves and gastropods. Rome, FAO, 1998. page 385.
Rohlf, F.J., 1994. Ntsys-Pc Numerical Taxonomy And Multivariate
Analysis System. Exeter Software, New York.
Singh RP, 1995. Molecular Methods in Plant Pathology. CRC
Lewis Publisher. Florida.
Sofyan, A., Shaw, J.R., Birge,W.J., 2006. Metal trophic
transfer from algae to a cladocerans and the relative importance of dietary
metal exposure. Environ. Toxicol. Chem. 25, 1034–1041.
Sugama, K. Haryati dan F.Ghalih. 1996. Biochemical Genetic
of Tiger Shrimp, Peaus monodon. Description of Electrophoretic Detectable Loci.
IFR. Journal, 34 (1): 19-28.
Suryanto, D. 2003. Melihat Keanekaragaman Organisme
Melalui Beberapa Teknik Genetika Molekuler. Program Studi Biologi Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, Sumatera Utara
Digitized Library. pp 2.
Williams, J.G.K, A.R. Kubelik, K.J. Livak, J.A.
Rafalski, S.V. Tingey. 1990. DNA polymorphisms amplified by arbitrary
primers are useful as genetic markers. Nucleic Acids Res. 18: 6531-6535.
Oleh : Kenanga
Sari
Sumber :
Magdalena Litaay, Rosana Agus, St Ferawati, Rusmidin
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Hasnuddin Makassar 9024
Makalah
disampaikan pada ICAI 2012, Semarang 23-24 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar