Genetic Enginering

Senin, 17 Desember 2012


   
VARIASI GENETIK ABALON TROPIS HALIOTIS ASININA L
ASAL SULAWESI SELATAN; PROSPEK BUDIDAYA
GENETIC DIVERSITY OF TROPICAL ABALONE HALIOTIS ASININA L . IN SOUTH SULAWESI INDONESIA; AQUACULURE PERSPECTIVE

ABSTRACT
Abalone is one of important marine gastropods commodity. Highly demand of these resources has result a depletion of wild stock elsewhere. One of the priorities to optimize the productivity of abalone is the development of a selective method of the parent. Initial efforts are underway to determine the proper method of crossing the parent is to determine the genetic diversity within a population of abalone both in natural (wild type). RAPD-PCR (Polymerase Chain Reaction Random Amplified Polymorphic-DNA) is one of the molecular techniques of using a specific marker for studying genetic diversity. This technique involves specific annealing where the target DNA is random. This study aims to determine the genetic diversity of the parent population of abalone H. asinina L. origin from Bone Bay South Sulawesi Province with the use of RAPD genetic markers. DNA samples derived from the toe of abalone. DNA is extracted and then amplified in the PCR machine using the 5 primer namely UBC 197, OPB 11, UBC 195, UBC 271 and UBC 101, and the results were observed after electrophoresis on agarose gel. Analysis of genetic diversity in this study is based on the results of Jaccard genetic similarity coefficients. Kinship dendogram constructed using the NTSYS program. The result shows the genetic diversity of H.asinina L origin from Bone Bay is high. Compared to the parent abalone genetic diversity in different aquatic locations in Indonesia, the diversity of observed abalone is quite high enough to potentially be used as a parent for crosses. Abalone aquaculture perspective is discussed in this paper.
Key words: abalone breeder, RAPD-PCR, primers, genetic diversity

Pendahuluan
Abalon H. asinina L. merupakan kelompok moluska laut atau dikenal dengan kerang mata tujuh, dalam klasisfikasi masuk kelas gastropoda. Terdapat lebih dari 100 species abalone (Geiger, 2005), 20 jenis diantaranya bersifat ekonomis (Andy Omar, et al. 2000). Abalon merupakan komoditas yang patut untuk dibudidayakan karena nilai protein yang tinggi dan kandungan kolestrol yang rendah. Kandungan nutrisi yang sangat baik untuk kesehatan membuat nilai ekonomis abalon meningkat. Nilai ekonomis abalon yang tinggi memberi pengaruh besar bagi yang mengkonsumsinya. Di luar negeri abalon bisa menjadi makanan eksotik yang harganya mahal (Bonang, 2008). Data SEAFDEC tahun 2007 menunjukkan bahwa pasar tidak dapat memenuhi 7.000 ton permintaan dunia akan abalon. Permintaan abalon yang tinggi menyebabkan terjadi ekploitasi berlebhan di alam. Ekspolitasi tersebut terutama yang dilakukan dengan cara tidak ramah lingkungan dapat menyebabkan putusnya siklus hidup generasi dalam jumlah yang besar dan selanjutnya memicu terjadinya degradasi populasi. Untuk menjaga kelestarian sumber daya abalon diperlukan upaya-upaya secara dini untuk menemukan suatu bentuk pengelolaan secara teknis, biologis dan ekologis yang dapat dipertanggung jawabkan.
Salah satu langkah yang menjadi solusi bagi eksploitasi secara langsung di alam adalah dengan melakukan budidaya. Budidaya abalon di Indonesia mulai diteliti di Loka Budidaya Laut Lombok sejak tahun 1997 (Sofyan et al., 2006). Budidaya abalon menbutuhkan benih yang bagus agar dapat menghasilkan abalon yang baik. Pemilihan benih dapat dikakukan dengan cara melihat keragaman genetik untuk memperoleh individu yang unggul. Keragaman genetik dipandang sebagai sumber gen. Sumber gen yang beragam memungkinkan untuk mencari gen unggul melalui proses seleksi sehingga dapat ditemukan suatu individu yang memiliki berbagai keunggulan baik dari segi pertumbuhan, tahan terhadap penyakit maupun kemampuan beradaptasi yang tinggi (Sugama et al., 1996).
Data variasi dan keragaman genetik abalon belum banyak tersedia dalam menunjang proses seleksi induk. Pengamatan keragaman genetik perlu dilakukan sebagai sumber informasi tambahan mengenai variasi dan keragaman genetik abalon H. asinina L. Salah satu metode yang digunakan untuk mengetahui keragaman genetik adalah metode RAPD. Penggunaan penanda RAPD relatif sederhana. Teknik RAPD memberikan hasil yang lebih cepat dibandingkan dengan teknik molekuler lainnya. Teknik ini juga mampu menghasilkan jumlah karakter yang relatif tidak terbatas, sehingga sangat membantu untuk keperluan analisis keanekaragaman organisme yang tidak diketahui latar belakang genomnya (Suryanto, 2001).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman genetik H. asinina L. asal Sulawesi Selatan menggunakan metode Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD).untuk memberikan informasi mengenai keanekaragaman genetik abalon tropis H. asinina L. yang bisa dikembangkan untuk budidaya dan mendapatkan spesies yang potensial untuk dibudidayakan.

Materi dan Metode
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2011 sampai dengan November 2011, bertempat di Laboratorium Bioteknologi Kesehatan Pusat Kegiatan Penelitian dan Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar. Pengambilan sampel abalon dilakukan pada perairan Teluk Bone Sulawesi Selatan.
Alat-alat yang digunakan meliputi PCR, Elektroforesis, Spektrofotometer, UV transilluminator, Lemari Pendingin, Mortar, Gunting, Pisau, Pinset, Plastik sampel, Vortex, Water Bath, Neraca analitik, Tabung eppendorf, Mikropipet, Laminary Air Flow.
Bahan-bahan yang digunakan meliputi kekerangan abalon H. asinina L., Primer OPB1 (5’-GTAGACCCGT-3’);UBC101 (GCGCCTGGAG-3’); UBC195 (5’-GATCTCAGCG-3’); UBC197 (5’-TCCCCGTTCC-3’) dan UBC271 (5’- GCCATCAAGA-3’), Purifikasi DNA Genomik Kit, Enzim Taq DNA polimerase 500u, dNTP Mix, marker λDNA 100bp DNA, 0,1-10uI mikrotip, 0,2 ml tabung PCR 1000/pc, Buffer; MgCl2 3.5 mM, Alkahol, phenol/chloroform, ethidium bromide, EDTA , larutan proteinase K, RNAse, larutan protein presipitasi, isopropanol, etanol 70%.
Sampel abalon yang ditemukan diidentifikasi berdasarkan karakter morfologi cangkang (bentuk, ukuran dan corak), disesuaikan dengan petunjuk identifikasi (Poutiers, 1998). Diversitas genetika mengacu pada prosedur baku.
Prosedur tahapan ekstraksi sebagai berikut (Kalibunga et.al., 2004): Otot kaki abalon dipotong, ditimbang 10-20 mg dan dimasukkan ke dalam plastik sampel, kemudian digerus dengan pastel/mortar dalam kondisi dingin dan dimasukkan dalam tabung eppendorf 1,5 cc yang bersih dan telah diberi label berdasarkan nomor sampel. Kemudian ditambahkan 500μl larutan pelisis sel (Nuclei Lisis Solution) dan 100μl 0,5 EDTA pH 8, dicampur dengan vortex, dinkubasi 650C selama 15-30 menit. Larutan yang sudah dicampur ditambahkan 17,5 μl proteinase K (20 mg/ml), dicampur dengan vortex dan diinkubasi semalam pada suhu 550C. Ditambahkan 3μl RNAse, dicampur dengan membolak-balikkan tabung, diinkubasi pada suhu 370C selama 15-30 menit kemudian dibiarkan selama 5 menit pada suhu ruang. Ditambahkan 200μl protein presipitation dan divortex pada kecepatan tinggi selama 20 detik, kemudian didinginkan selama 5 menit dan disentrifus selama 5 menit pada kecepatan 12.000 rpm. Supernatan dipindahkan ke tabung ependorf baru yang telah diisi dengan isopropanol (600 μl), dicampur dengan membolak-balikkan tabung dan disentrifus selama 2 menit pada 12.000 rpm Supernatan dibuang dengan hati-hati Ditambahkan 600μl etanol 70%, dicampur dengan membolak-balikkan tabung, disentrifus selama 2 menit pada kecepatan 12.000 rpm. Supernatan dibuang dengan pipet kemudian dikeringkan (diangin-anginkan selama 10-15 menit). Ditambahkan 100μl DNA dehydration, diinkubasi pada suhu 650C selama 1 jam atau pada suhu 40C selama satu malam.
Proses penggandaan DNA dengan mengguanakan PCR(Polymerase Chain Reaction) dengan prosedur sebagai berikut (Kalibunga, et.al 2004): Untuk komposisi 25 μl pada reaksi PCR terdiri dari sampel DNA genom 50 ng; 1 × PCR buffer; MgCl2 3.5 mM; dNTP mix 0.4 mM; Primer 0.4 μM dan taq DNA polymerase 2.0 unit. Penggandaan DNA genom ini menggunakan GeneAmp PCR system 2400 (Perkin Elmer) yang akan dilakukan sebanyak 35 siklus dengan tahapan 15 detik denaturasi pada suhu 94°C, 60 detik penempelan primer (annealing) pada suhu 36°C, 90 detik sintesis DNA (Primer extension) pada suhu 72°C dan 7 menit pemanjangan DNA (final extension) pada suhu 72°C. Produk DNA yang telah digandakan dianalisis melalui proses elektrophoresis dengan menggunakan gel agarosa, kemudian divisualisasi dengan menggunakan UV transilluminator setelah pewarnaan dengan ethidium bromide.

Analisis Data
Tiap fragmen DNA yang dianalisis menggunakan metode RAPD dengan menggunakan GeneRuler 100bp DNA ladder (Fermetas). Fragmen tersebut akan dinilai polymorphic apabila tidak ditemukan pada beberapa sampel. Perbedaan pola band pada setiap primer dianggap sebagai perbedaan genotip. Data yang diperoleh dianalisis mengguanakan RAPDistance Package Software Version 1.04 (Amstrong et.al., 1994) dan Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis System (NTSYS) Version 1.80 (Rohlf, 1994). Analisis Similarity Indeks (SI) antar individu dan antar sampel dilakukan berdasarkan formula Nei dan Li (1979). Jarak genetik antar beberapa sampel yang berpasangan kemudian akan dihitung (Lynch, 1990) dan hubungan kekrabatan ini akan digambarkan dengan dendogram berdasarkan metode Unweighted Pair-Group Method of Aritmetic (UPGMA) employing Secuential, Agglomerative, Hierarchial and Nested Clustering (SAHN) dari NTSYS-pc program (Rohlf, 1994).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keanekaragaman Morfologi Abalon H. asinina L.
Keragaman morfologi meliputi kergaman bentuk, corak warna dan lain-lain. Menurut Poutiers (1998) dalam junal Gastropods in: FAO Species Identification Guide for Fishery Purposes: The living marine resources of the Western Central Pacific Volume 1. Seaweeds, corals, bivalves and gastropods dalam kunci determinasi abalon menyebutkan cangkang H. asinina L. berwarna hijau atau coklat dengan bentuk corak segi tiga yang memiliki warna hijau pucat dan coklat. Referensi tersebut menjadi patokan dalam melihat keanekaragaman morfologi abalon Penelitian mengenai keragaman abalon tropis H. asinina L pada penelitian ini dengan metode RAPD menggunakan 5 primer. Primer tersebut penah digunakan oleh penelitia sebelumnya untuk abalon tropis H. asinia L. yang berasal dari perairan di Thailand (Klibunga et.al. 2004). Adapun contoh hasil amplifikasi primer UBC 197, OPB 11, UBC 195, UBC 271 dan UBC 101 terlihat pada Gambar 1.
 

 








Gambar 1. Profil pita DNA dengan primer UBC 197 Urutan M (Marker), Sampel (B1, B2, B3, B4, B5) dan N (Kontrol Negatif)
Gambar hasil amplifikasi dari lima primer menunjukkan pita DNA yang teramplifikasi secara acak. Hasil visualisasi dari metode RAPD dikelompokkan dengan analisis klaster. Menurut Supranto (2004), analisis klaster adalah suatu teknik yang digunakan untuk mengklasifikasikan obyek ke dalam kelompok yang cenderung mirip satu sama lain dan berbeda jauh dengan obyek dari kelompok lain.
Amplifikasi dari primer yang digunakan menghasilkan 108 larik dengan 4 primer yang bisa mengamplifikasi DNA. Amplifikasi DNA terjadi secara acak menghasikan pita yang terletak antar 200 bp sampai diatas 1000 bp.  Primer UBC 197, OPB 11, UBC 271 dan UBC 101 berhasil teramplifikasi dan menghasilkan pita yang terletak antara 200 bp sampai lebih 1000 bp. Keberhasilan amplifikasi DNA genom dalam teknik RAPD ditentukan oleh salah satunya adalah urutan basa primer yang digunakan dalam setiap reaksi dan kuantitasnya (kandungan primer dalam setiap reaksi). Prinsip teknik RAPD didasarkan pada kemampuan primer menempel cetakan DNA. Primer yang didesain berupa primer tunggal pendek agar dapat menempel secara acak pada DNA genom organisme. DNA yang tidak menempel pada primer akan menyebabkan tidak munculnya pita DNA yang disebabkan tidak terjadinya penempelan pada primer. Pada primer UBC 195 tidak terdlihat adanya pita yang disebabkan tidak menempelnya primer pada DNA setiap sampel abalon. Hal ini menyebabkan tidak terjadinya proses amplifikasi pada primer ketiga UBC 195. Perbedaan pola pita yang ditunjukkan tiap sampel menunjukkan keanekaragaman sampel abalon yang diteliti. Semakin besar perbedaan maka kekerabatan abalon semakin jauh. Sebaliknya semakin mirip pola pita yang ditunjukkan maka kekrabatan antar sampel abalon semakin dekat.
Jarak genetik antara individu abalon H. asinina L. tersaji dalam tabel jarak genetik. Jarak genetik merupakan tingkat perbedaan gen (perbedaan genom) diantara suatu populasi atau spesies (Nei, I987).Jarak genetik digunakan untuk menunjukkan seberapa dekat kekerabatan antar genetik abalone H. asinina L. tersebut dilihat dari nilainya. Banyaknya kesamaan dalam nilai yang ditunjukkan oleh nilai jarak genetik menunjukkan keanekaragaman abalon H. asinina L. yang tinggi.
Keanekaragaman genetika dapat terjadi karena adanya perubahan nukleotida penyusun DNA. Perubahan ini mungkin dapat memperngaruhi fenotipe suatu organisme yang dapat dipantau dengan mata telanjang, atau mempengaruhi reaksi individu terhadap lingkungan tertentu. Secara umum keanekaragaman genetik dari suatu populasi dapat terjadi karena adanya mutasi, rekombinasi, atau migrasi gen dari satu tempat ke tempat lain (Suryanto, 2003)
Menurut Singh (1995) bahwa hubungan isolat individu atau keseluruhan populasi dapat dinyatakan dalam angka-angka, analisis ini juga dapat ditampilkan dalam dendogram. Dengan menggunakan metode Unweighted Pair- Gouping Method with Aritmatic Averaging (UPGMA), dihasilkan dendogram jarak genetik (Gambar 2). Dendogram menunjukan hubungan kekerabatan antara sampel abalon yang diteliti. Hubungan kekerabatan tersebut membentuk 2 kelompok besar. Kelompok pertama terdiri dari BI, B2, B3, B4, B5, B13, B18, B33 dan B42. Kelompok kedua terdiri dari B17, B19 dan B20. Pada dasarnya bila mengacu pada dendoram dari dua kelompok besar kekerabatan abalon asal Kabupaten Bone memiliki kekerabatan yang luas atau tinggi. Jarak genetik yang terletak antara 0,1176-1,0000 menunjukkan nilai keanekaragaman genetik yang tidak terlampau jauh antara satu individu dengan individu yang lain. Informasi yang didapat dari gambar dendogram menujukkan korelasi antar induvidu yang beranekaragam dari sampel abalon yang ada di perairan teluk Bone. Nilai jarak genetik akan menunjukan hubungan kekerabatan antar individu tiap sampel abalon.




Gambar 2 Dendogram hubungan genetik sampel abalon (Primer UBC 197, OPB 11, UBC 195, UBC 271 dan UBC 101)
Jarak genetik yang terlihat pada dendogram memberi petunjuk terhadap hubungan kekerabatan yang berbanding lurus. Semakin besar jarak genetik antara indivu semakin jauh hubungan kekerabatan antar idividu. Hal tesebut ditunjukan oleh sampel abalon B1 dan B20 yang memiliki kekerabatan yang jauh. Sampel B1 dan B20 berada pada pada kisaran jarak genetik 0,1176. Semakin kecil jarak genetik maka menunjukkan hubungan kekerabatan yang semakin dekat atau memiiliki kesamaaan yang identik. B19 dan B20 merupakan dua individu yang memliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan nilai jarak genetik 1,0000.
Hubungan kekerabatan sampel abalon disebabkan adanya perkawinan silang antara individu yang ada di wilayah perairan tersebut. Perkawinan silang tersebut akan menghasilkan keturunan yang beranekaragam bahkan ada yang identik ketika dua individu yang melakukan persilangan memiliki gen yang sama. Sampel abalon yang memiliki kedekatan genetik, diduga beasal dari tetua yang berkerabat dekat, sebaliknya sampel abalon yang jarak genetiknya relative tinggi, diduga berasal dari tetua yang jauh hubungan kekerabatannya dengan tetua varietas yang lain. Keanekaragaman pada abalon disebabkan adanya persilangan heterozigot pada induk abalon.
Penelitian ini memberikan informasi yang penting untuk menggali informasi tentang abalon yang ada di perairan teluk Bone khususnya dan abalon yang ada disektar perairan Indonesia pada umumnya yang memberikan informasi yang berkaitan dengan bidang biologi molekuler. Penelitian dalam bidang biologi molekler yang terkait dengan kanekaragaman genetik yang dilakukan dengan metode RAPD (Random amplified polymorphic DNA) dapat memberikan manfaat dalam hal upaya pemuliaan dan keragaman genetik yang dibutuhkan untuk keperluan riset mupun pemenuhan kebutuhan manusia.
Pemahaman tentang keragaman genetik dan hubungan kekerabatan diperlukan baik untuk kegiatan konservasi genetik maupun pemuliaan. Untuk konservasi ex-situ, informasi ini sangat diperlukan untuk menetukan jumlah populasi maupun individu dalam populasi yang perlu dikoleksi, sehingga dapat tetap mempertahankan dasar keragaman genetik yang dimiliki, sedangkan untuk konservasi in-situ, informasi ini diperlukan untuk menentukan jumlah lokasi yang harus ditentukan beserta luasan serta jumlah individu di dalamnya.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Koefisien .jarak genetik 12 sampel abalon H. asinina L. asal perairan teluk Bone Sulawesi Selatan berkisar antara 0,1176-1,0000. Jarak genetik terjauh ditunjukkan oleh sampel B1 dan B20 dengan nilai jarak genetik 0,1176 sedangkan jarak genetik terdekat ditunjukkan oleh sampel B19 dan B20 dengan nilai jarak genetik 1,0000.
2. Analisis dendogram sampel abalon H. asinina L. menghasilkan dua kelompok besar. Kelompok pertama terdiri dari BI, B2, B3, B4, B5, B13, B18, B33 dan B42. Kelompok kedua terdiri dari B17, B19 dan B20.

Saran
Diharapkan penelitian mengenai keragaman genetik abalon dapat dilanjutkan dengan membandingkan abalon yang berasal dari perairan lain kawasan lain di Indonesia.
.
DAFTAR PUSTAKA
Amstrong, J.S., A.J.,Gibbs, R.,Peackall, G.,Weiller, 1994. The Rapdistance Package. Australian National University, Canberra, Australia. pp. 101-103.
Geiger, D.L, 2005. Molecular Phylogeni and The Geograpic Orogin of Haliotidae Traced by Haemocyanin Sequences, Journal of Molluscan Studies Advance. Santa Barbara Museum of Natural History. pp. 1-6.
Kalinbunga, S., P.,Apparyup, R.,Leelatanawit, A.,Tassanakajon, I., Hirono, T.,Aoki, A.,Jayarabhand, P.,Menasveta, 2004. Species Identification Of The Tropical Abalione Haliotis Asinina, Haliotis Ovina And Haliotis Varia In Thailand Using Rapd And Scar Markers. Journal Biochemistry And Molecular Biology 37: 213-222.
Li, X., 1998. Genetics in Abalone. In: Proceedings of the 5th Annual Abalone Aquaculture Workshop, (Ed). Hone, P. Fisheries Research and Development Corporation. Hobart, Tasmania. pp 132-140.
Lynch, M; 1990. The Similarity Index And Dna Fingerprinting. Mol. Biol. Evol. 7, 478-484.
Nei, M. 1987. Molecular Evolutionary Genetics. Columbia University Press. New York.
Nei, M., Li, W. H; 1979. Mathematical Model For Studying Genetic Variation In Terms Of Restriction Ndonucleases. Proc. Nat. Acad. Sci. Usa 76, 5269-5273.
Poutiers J. M. 1998. Gastropods in:FAO Species Identification Guide for Fishery Purposes: The living marine resources of the Western Central Pacific Volume 1. Seaweeds, corals, bivalves and gastropods. Rome, FAO, 1998. page 385.
Rohlf, F.J., 1994. Ntsys-Pc Numerical Taxonomy And Multivariate Analysis System. Exeter Software, New York.
Singh RP, 1995. Molecular Methods in Plant Pathology. CRC Lewis Publisher. Florida.
Sofyan, A., Shaw, J.R., Birge,W.J., 2006. Metal trophic transfer from algae to a cladocerans and the relative importance of dietary metal exposure. Environ. Toxicol. Chem. 25, 1034–1041.
Sugama, K. Haryati dan F.Ghalih. 1996. Biochemical Genetic of Tiger Shrimp, Peaus monodon. Description of Electrophoretic Detectable Loci. IFR. Journal, 34 (1): 19-28.
Suryanto, D. 2003. Melihat Keanekaragaman Organisme Melalui Beberapa Teknik Genetika Molekuler. Program Studi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, Sumatera Utara Digitized Library. pp 2.
Williams, J.G.K, A.R. Kubelik, K.J. Livak, J.A. Rafalski, S.V. Tingey. 1990. DNA polymorphisms amplified by arbitrary primers are useful as genetic markers. Nucleic Acids Res. 18: 6531-6535.
Oleh : Kenanga Sari
Sumber :
Magdalena Litaay, Rosana Agus, St Ferawati, Rusmidin
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Hasnuddin Makassar 9024
Makalah disampaikan pada ICAI 2012, Semarang 23-24 November 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar